Tradisi Suran di Desa Karanganyar
(Narasi oleh Muhammad Ja’far Qoir dan Miftakhul Fauzi)
Narasi
Dalam Islam bulan suro adalah bulan muharram. Bulan Muharram berasal dari kata haram yang artinya suci atau terlarang. Dinamakan Muharram karena sejak zaman dahulu pada bulan ini masyarakat arab dilarang berperang dan membunuh. Larangan tersebut terus berlaku hingga masa Islam.
Menurut Bapak Windarmoko selaku seorang sesepuh di Dusun Banjaran 1 Karanganyar Borobudur. Sebelum lahirnya kalender Islam, masyarakat Arab kuno menandai setiap tahunnya bukan dengan hitungan kalender tetapi mereka biasa menandai suatu tahun dengan kejadian besar yang ada pada masa tersebut. Penyebutan Tahun Gajah karena adanya penyerangan pasukan bergajah, atau Tahun Fijar dimana Perang Fijar terjadi. Selain itu, ada pula Tahun Nubuwwah, yang menandakan tahun dimana Rasulullah menerima wahyu pertama kali.
Pemberian angka atau urutan waktu baru digagas setelah Nabi Muhammad wafat. Tepatnya pada tahun ketiga pemerintahan Umar bin Khattab. Umar bin Khattab pun mulai menginisiasi penerbitan kalender Islam untuk pertama kalinya. Kebijakan ini beliau dirundingkan terlebih dahulu bersama dengan para sahabat terkemuka lain. Hasilnya, para sahabat pun setuju untuk menerbitkan kalender Islam.
Perhitungan kalender Islam dibuat dengan menjadikan tahun hijrah Rasulullah ke Madinah sebagai titik tolak pertama. Karena itulah kalender Islam ini disebut juga sebagai kalender Hijriyah.Setelah menentukan tahun pertama Hijriyah, selanjutnya perlu ditentukan pula bulan pertama dalam kalender tersebut. Kemudian atas beberapa pertimbangan salah satunya tentang kebiasaan masyarakat Arab kuno menyebut bulan muharram sebagai bulan yang suci, maka Umar bin Khattab mengusulkan untuk menjadikan bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Bulan muharram merupakan bulan besar bagi umat islam karena banyak peristiwa penting terjadi pada bulan ini, mulai dari peristiwa masa Nabi terdahulu hingga masa Islam. Seperti peristiwa bertaubatnya Nabi Adam AS atau terjadinya perang khaibar yang dimenangkan oleh umat islam pada 7 H.
Dengan berbagai macam sejarahnya, bulan Muharram merupakan bulan yang mulia dengan beberapa keutamaan yang dimilikinya. Setiap orang bersemangat untuk meningkatkan amal perbuatan karena bulan muharram diyakini menjadi bulan yang suci. Di antara bentuk kesucian dan kemuliaan bulan muharram adalah kaum muslimin dilarang berperang kecuali terpaksa atau jika diserang oleh kaum kafir. Pada bulan muharram Kaum muslimin juga diingatkan agar lebih menjauhi perbuatan aniaya dan lebih mengutamakan untuk berbuat baik dengan membantu sesama.
Dalam khazanah Islam jawa masyarakat menyebut bulan muharram dengan istilah bulan Suro. Istilah suro menjadi sangat sakral dalam Islam Jawa karena masyarakat dilarang melaksanakan kegiatan hajatan dan hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan. Hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan masyarakat Arab yang menganggap muharram menjadi bulan suci dan penuh sejarah. Hal tersebut terjadi karena masyarakat Jawa pada masa kuno menganggap bahwa bulan suro adalah bulan yang sangat istimewa, maka tidak sembarangan orang diperbolehkan mengadakan hajatan melainkan hanya orang-orang tertentu yang memiliki keistimewaan seperti raja zaman dahulu.
Berdasarkan penuturan Bapak Windarmoko, sebenarnya kata Suro berasal dari kata “asyura”, dalam bahasa Arab yang berarti “sepuluh”, yakni tanggal 10 bulan Muharram. Penyebutan kata Asyura berubah menjadi Suro dengan menyesuaikan lidah masyarakat Islam Jawa. Akhirnya kata Suro dijadikan nama bulan pertama kalender Islam maupun Jawa. Selain itu, masyarakat Islam Jawa juga mempunyai tradisi pada bulan suro, yakni masyarakat mengadakan kegiatan-kegiatan yang disebut dengan ritual pada malam satu suro.
Begitu juga dengan yang terjadi di Desa Karanganyar, setiap malam 1 muharram atau malam 1 suro sebagian masyarakat di Desa Karanganyar melakukan tahlilan atau doa bersama. Hal tersebut bertujuan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan sebagai simbol rasa syukur atas segala hal yang telah diberikan serta selalu berharap dalam lindungannya. Acara tersebut dipimpin oleh tokoh ulama dan diadakan pada waktu menjelang maghrib. Dalam kegiatan tersebut, masyarakat akan membaca Doa Tutup Tahun kemudian acara dilanjutkan setelah sholat maghrib dengan membaca Doa Awal Tahun.
Setelah selesai kegiatan berdoa, ada beberapa warga yang tetap berkumpul di masjid dan tidak tidur hingga dini hari, kegiatan ini sering disebut leklekan. Sementara itu, pada jam 12 malam sebagian warga juga ada yang melakukan ziarah ke makam sesepuh di masing masing dusun. Acara tersebut diisi dengan membaca doa tahlil di area makam sesepuh dusun.
Pada malam satu suro, terdapat tradisi mengunjungi puncak suroloyo yang ditempuh dengan jarak kurang lebih 7 km yang ditempuh selama 2 jam dengan berjalan kaki dari Desa Karanganyar. Kegiatan ini mayoritas didominasi oleh kaum laki-laki. Hal ini Tujuan mereka adalah untuk menikmati keindahan alam ciptaan-Nya yang terlihat semasa perjalanan dari Desa Karanganyar sampai puncak Suroloyo. Adapun tradisi lain di bulan muharram atau suro tepatnya pada tanggal 10 muharram yaitu setiap dusun mengadakan santunan anak yatim yang diselenggarakan di masing masing masjid, dan pada tanggal itu juga masyarakat banyak menjalankan puasa Asyura. Puasa ini banyak dilakukan oleh sebagian masyarakat karena merupakan puasa yang paling utama dan puasa sunnah terbaik di bulan Muharram. Puasa ini memiliki keutamaan dapat menghapus dosa selama setahun.
Menurut bapak Windarmoko dan masyarakat setempat, pada malam 10 Suro warga Karanganyar membuat bubur suro untuk acara slametan. Biasanya acara berlangsung di masjid dan dilakukan pada waktu setelah sholat maghrib. Pada berlangsungnya acara tersebut warga berkumpul di masjid untuk membaca tahlil yang dipimpin oleh sesepuh dusun, setelah itu acara dilanjut dengan makan bubur suro dan menyantuni anak yatim. Adapun sejarah dari sajian bubur suro adalah untuk memperingati peristiwa yang dialami oleh Nabi Nuh AS dan umatnya, dimana pada tanggal tersebut Nabi Nuh AS selamat setelah 40 hari mengarungi banjir besar yang melanda saat itu, dimana bahan makanan yang tersisa di kapal berupa beras dan kacang kacangan di masak bersama-sama hingga menjadi bubur. Peristiwa ini terjadi juga di tanggal 10 suro.
Berikut Bahan Bubur Suro yang dijelaskan oleh Ibu Warti (49 tahun)
Bahan Bubur : Beras, Santen, Salam, Garam.
Bahan Sayur : Tahu, tempe, Tempe bungkil, Kacang kacangan.
Bumbu : Bawang merah , Bawang putih, Cabe, Gula merah, Garam , Salam, Laos, Sere , Daun jeruk, Jahe, Santen, Kunir, Jahe, Kemiri.
Gambar
Narasumber
- Bapak Windarmoko, sesepuh dusun Banjaran 1 desa Karanganyar
- Ibu Warti, 49 tahun, pemerhati budaya, desa Karanganyar