(Narasi oleh Andi Ahmad dan Zuhan Andri D. A.)
Narasi
Kesenian Topeng Ireng Topeng Kawedar adalah kesenian asli Desa Tuksongo yang memadukan unsur seni musik (gamelan), seni tari (pencak silat Jawa), dan agama Islam. Topeng Kawedar merupakan maskot kesenian Desa Tuksongo. Kesenian ini didirikan sejak tahun 1930 oleh Kepala Desa Tuksongo yang ke-3 yaitu Cokro Aminjoyo, dan diakui pada tahun 1952. Awalnya, kesenian ini diprakarsai oleh Shubanul Muslimin atau yang dikenal Gandul Muslimin yang berarti pemuda muslim. Topeng Kawedar merupakan pelopor pertama tarian topeng ireng dan menjadi pionir berdirinya topeng ireng di seluruh penjuru Indonesia. Topeng Kawedar diciptakan sebagai media pengembangan ajaran agama Islam karena setiap gerakan tarian rodat, tarian kewan-kewan, tarian banolan, serta lagu-lagunya mengandung nilai-nilai agama Islam.
Tarian Rodat
Gerakan tarian rodat dan iringan lagu saat menari juga mempunyai arti yang sangat mendalam. Sebenarnya, gerakan tarian Topeng Kawedar Desa Tuksongo didasarkan pada gerakan silat Jawa. Lagu-lagu Islami yang mengiringi, di samping untuk syiar agama Islam, juga sebagai penyemangat saat menari atau berlatih silat. Gerakan silat di kesenian itu sebenarnya ada maksud dan tujuannya. Pada zaman penjajahan, mendirikan perguruan pencak silat sangat ditentang oleh penjajah, karena bagi mereka berlatih silat sama saja melawan penjajah. Jadi, masyarakat Desa Tuksongo pada waktu itu berinisiatif memasukkan gerakan silat pada kesenian. Maka dengan ide kreatif masyarakat Desa Tuksongo pada waktu itu, terciptalah kesenian Topeng Kawedar atau Dayakan (Gendayakan,Banyak), atau disebut juga topeng ireng.
Banolan
Tarian banolan/banyolan/montolan juga mengajarkan makna yang berbeda, khususnya pada lagunya, seperti lirik lagu Pak Monol:
“Mulane dadi kesenian nyiarake agama Islam, mulane para pamriksa kudu sregep pengajian.”
Artinya, kesenian ini mengajarkan agama Islam, jadi para penonton harus rajin mengaji. Akan tetapi lirik bagian depan lagu Pak Monol berisi candaan atau banyolan agar suasana pada pertunjukan seni tidak membosankan, misalnya
“Pak Monol megal–megol. Pak Monol pancen wong tolol. Mulane ojo do ngguyu. Yen guyu ketok untune.” (Pak Monol megal-megol. Pak Monol memang orang bodoh. Makanya kalian jangan tertawa. Kalau tertawa, tampak giginya.)
Lirik ini bercerita tentang seseorang yang merugi karena tidak belajar agama Islam sejak kecil, dan orang tersebut ditertawakan. Lagu tersebut juga wajib dimainkan saat pertunjukan kesenian Topeng Kawedar.
Kewan-kewanan
Jumlah kewan-kewanan (hewan-hewanan) sebenarnya dulu hanya ada tujuh yang dalam bahasa Jawa disebut pitu. Pitu dimaknai sebagai pitulung (menolong) dan pitulang (mengajar), dan ketujuh kewan/binatang tersebut mempunyai makna yang berbeda-beda:
- Macan mengandung arti maca kahanan ndonyo yang berarti membaca keadaan dunia;
- kewan Simo (singa) yang berarti isine limo, dengan maksud agar mengamalkan 5 rukun Islam dan 5 sila dalam Pancasila;
- Jaran (kuda) yang berarti ajaran Pengeran, di mana kita disuruh membaca dan memahami 5 rukun Islam;
- Kebo (kerbau) atau dalam bahasa Jawa juga disebut mahesa yang maksudnya dipaes (diperbaiki), yang berarti kalau sudah tahu ajaran Tuhan, maka diperbaiki;
- Sapi yang berarti kalau sudah diperbaiki, lantas perlu mengelus dada (diusapi), yaitu bagaimana kita berperilaku dan bertindak di masyarakat;
- Warak (badak), berasal dari kata wuruk yang berarti wuruk Islam atau belajar agama Islam;
- Gajah yang berarti niat disucikan. Ketika sudah sudah menjalani semua, kita akan disucikan oleh Tuhan.