(Narasi oleh Arif Sutoyo dan Nur Kholiq)

Narasi

Menurut cerita dari Bapak Sujadi (64) yang merupakan Kaum atau Modin di dusun Parakan, ada beberapa tradisi berkaitan dengan daur hidup masyarakat Desa Ngargogondo. Tradisi-tradisi tersebut mengikuti tahapan kehidupan manusia, antara lain yaitu hamil (ngandut), lahir (babaran), pernikahan (mantenan), dan terakhir kematian (sripah).

  1. Hamil (Ngandut)

Pada awal kehamilan, warga Desa Ngargogondo memaknainya dengan suka cita dan penuh rasa syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas karunia yang telah diberikan, tanpa upacara khusus. Ritus daur hidup pertama dilakukan pada masa usia kehamilan menjelang empat bulan yang diperingati dengan ritual ngapati, dilanjutkan dengan ritual yang kedua menjelang usia kehamilan tujuh bulan, yaitu ritual mitoni.

Ritual ngapati dilakukan sebagai bentuk rasa syukur (selamatan) sekaligus permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar bayi yang akan lahir nanti menjadi anak yang saleh dan punya banyak keutamaan. Ritual ini lebih sering diadakan pada hari Rabu, meskipun hari-hari lainnya juga diperbolehkan. Dalam acara selamatan ngapati ini dilantunkan tahlil, dipanjatkan doa-doa, serta dibacakan surat-surat yang terkandung dalam Al-Qur’an seperti Surat Yasin, Surat Al-Waqiah, Surat An-Nur, Surat Yusuf, dan Surat Maryam. Tidak ada makanan/masakan khusus yang disajikan dan kalaupun ada hanya karena naluri orang terdahulu sebelum masa Islam.

Selanjutnya, pada hari Sabtu Wage menjelang usia tujuh bulan kehamilan, diadakan ritual mitoni. Ritual ini dilakukan sebagai selamatan karena pada usia ini organ-organ bayi di dalam kandungan sudah komplit atau lengkap. Dalam ritual mitoni ini dibacakan surat-surat Al-Qur’an seperti Surat Al-Waqiah, Surat Al-Mulk, Surat Yusuf, Surat Maryam, dan Surat Luqman. Sedangkan masakan-masakan yang disajikan di antaranya yaitu dawet, waluh (labu) agar “Mbesok neng ndunya ora wal karo Gusti Allah” (Besok di dunia tidak lepas dari Gusti Allah), clorot agar ”Mbesok ngilmunya kaya clorot, lurus dadi anak saleh” (Besok ilmunya seperti clorot, lurus menjadi anak yang saleh), lalu umbi-umbian seperti singkong dan talas atau yang disebut larakan “Supayane mbesuk anak itu pepak ilmune dan mbesok bayi lahir cepat kaya larakan kuwi” (Supaya kelak anak tersebut menjadi berilmu dan lahir dengan cepat seperti larakan tersebut), serta kupat (seperti membaca istighfar, ngaku lepat). Adapun hidangan lainnya disajikan karena naluri orang-orang terdahulu.

  1. Lahir (Babaran)

Tahapan ini adalah fase yang dinanti-nanti oleh ibu yang mengandung, calon ayah, serta orang-orang terdekat. Setelah sang bayi dilahirkan, diadakan ritual brokohan atau barokahan yang bertujuan untuk mengungkap rasa syukur atas kelahiran  bayi. Selain itu, terselip harapan agar ibu yang melahirkan bayi memiliki nafsu makan yang baik sehingga cepat kembali sehat. Rangkaian ritus selanjutnya adalah penguburan ari-ari bayi yang sudah dimasukkan dalam kendi (tembikar) di sekitar rumah. Tidak ada upacara khusus, namun menurut kebiasaan di masyarakat, ari-ari dibenamkan di sebelah kanan rumah apabila bayinya laki-laki, dan sebelah kiri rumah apabila bayinya perempuan. Di atas kuburan ari-ari itu dipasang penerang sampai usia bayi 35 hari. Dulu, alat penerang yang digunakan adalah lampu minyak, sedangkan saat ini lebih banyak menggunakan lampu listrik. Tahap berikutnya adalah puputan (setelah tali pusar bayi putus) dan kekerik (berasal dari kata kerik atau kerok yaitu pemotongan rambut yang pertama pada bayi dan biasanya dicukur gundul botak) yang berbarengan dengan penamaan bayi yang terinspirasi dari syariat Islam, yaitu Aqiqah. Setelah bayi berusia 35 hari, diperingati dengan acara nyelapani. Bentuk dan cara nyelapani juga disesuaikan dengan kemampuan ekonomi warga. Sebelum usia bayi menginjak 40 hari, untuk perlindungan menurut naluri orang terdahulu bayi tidak boleh dibawa keluar rumah untuk diajak pergi jauh.

Dalam kelahiran bayi, salah satu hal yang tak bisa dilepaskan adalah penggunaan dlingo dan bengle pada bayi. Dlingo dan bengle adalah salah satu jenis tanaman rimpang yang difungsikan untuk tolak bala’. Tidak hanya pada bayi, penggunaan dlingo bengle untuk tolak bala’ juga dilakukan ketika ibu masih hamil. Selain itu, terdapat kepercayaan lain yang beredar di masyarakat, yaitu bahwa popok yang telah digunakan si bayi tidak boleh terbakar karena akan membuat masalah pada kulit bayi seperti ruam dan gatal-gatal.

  1. Pernikahan (Mantenan)

Dulu, pernikahan di Ngargogondo cukup unik. Banyak warga yang menikah dengan kerabat, tetangga sedusun, atau tetangga sekelurahan. Setelah proses perjodohan sudah mulai ditinggalkan, prosesnya kini biasa diawali dengan rembug antar mempelai atau calon pengantin, dilanjut dengan rembug antar orang tua, kemudian pihak laki-laki mengutus orang atau yang sering disebut talang atur untuk melamarkan. Dalam proses lamaran ini seringkali juga langsung diadakan pembayaran mahar atau lebih sering disebut bayar tukon oleh pihak calon pengantin laki-laki. Hantaran yang dibawa oleh pengantin laki-laki biasanya berisi jenang/dodol, wajik, lemper, krasikan, dan makanan terbuat dari ketan lainnya, buah-buahan, serta makanan ringan seperti peyek kacang dan sejenisnya. Dalam lamaran ini juga sering di-rembug antar keluarga mempelai tentang waktu akad nikah. Meskipun disebut rembug, namun dalam hal penentuan hari baik ini, pihak perempuan punya kuasa lebih, atau menurut bahasa sekitar wong wadon duwe nikah. Dengan kata lain, ketika pihak perempuan sudah mempunyai hari baik, pihak lelaki biasanya mengalah. Meski demikian, ada pula yang berembug hingga terjadi gejolak panas antar keluarga mempelai untuk mendapatkan titik temu penentuan hari baik pernikahan. Apabila kedua belah pihak sudah mufakat tentang hari pernikahan, pernikahan siap dilangsungkan tanpa ada masa pingit sebelumnya bagi calon mempelai. Pernikahan dilangsungkan setelah 1 atau 2 hari sebelumnya ada proses selamatan berupa kenduri dengan mengundang tetangga kanan dan kiri rumah. Acara pernikahan dilangsungkan di rumah mempelai perempuan oleh penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA) dengan cara diundang ke rumah (ngedunke) atau pihak mempelai datang ke KUA langsung. Makanan hantaran yang dibawa mempelai lelaki hampir sama dengan pada saat lamaran. Di hari kelima pernikahan, biasanya diadakan acara sepasaran. Sepasaran merupakan ritual terakhir dalam pernikahan. Di dalamnya ada kegiatan ngunduh mantu yang diadakan oleh keluarga pihak laki-laki. Dengan demikian, selesailah rangkaian ritual pernikahan dan terbentuk keluarga yang baru.

  1. Kematian (Sripah)

Urip iku mung mampir ngombe. Begitulah falsafah Jawa, yang artinya bahwa hidup itu hanya mampir untuk minum.

Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati (Q.S Ali Imron: 185). Dalam ritual kematian yang ada di Desa Ngargogondo biasanya diawali dengan pihak keluarga mayit menghubungi Bapak Modin setempat untuk mengabarkan kepada masyarakat bahwa ada berita kematian yang kemudian sekaligus ngopeni/merawat mayit mulai dari proses memandikan, mengkafani, hingga mengantar sampai pemakaman. Dahulu, berita kematian ditandakan dengan bunyi penthong dawa atau suara kentongan yang panjang. Namun, seiring kemajuan zaman, kini berita tersebut dikabarkan melalui speaker masjid. Warga, baik laki-laki dan perempuan,  berbondong-bondong mendekat ke shohibul musibah/keluarga mayit segera setelah berita lelayu diumumkan. Warga bergotong royong membagi tugas. Para lelaki sebagian menyiapkan rumah duka dengan memasang tratak, meminjam belah-pecah (piring, gelas, dsb.), dan sebagian lainnya ke kuburan untuk membuat liang lahat dengan membawa peralatan pacul, arit, ember atau tomblok, dan lempak. Adapun kaum ibu berada di rumah duka untuk menghibur keluarga si mayit, meronce/merangkai bunga untuk dibawa ke makam, serta menyiapkan makanan untuk selamatan surtanah (ngesur tanah) di kuburan. Makanan yang dipersiapkan biasanya nasi, sayur kentang & tempe/tahu, mie goreng, tempe/tahu garam bawang, dan tak lupa ayam ingkung utuh.

Setelah mayit dimandikan, dikafani, dimasukkan kedalam keranda, dan disholatkan, keranda mayit diusung ke pemakaman untuk dikubur. Sepanjang perjalanan menuju kuburan,  para pengiring merapalkan kalimat tahlil (laa ilaaha illallah) sembari menaburkan bunga dan beras kuning yang dicampur dengan uang receh. Hal ini dilakukan berdasarkan naluri masa lalu. Setelah sampai di pemakaman, mayit dikubur dengan posisi membujur ke utara lalu dihadapkan ke arah kiblat dan dilandasi dengan gelu dari belakang kepala sampai kaki. Gelu adalah tanah seukuran melon kecil yang dibulatkan dengan tangan. Kemudian ditutup dengan bambu lancip dalam posisi bersandar yang disebut trucukan, lalu ditutup dengan galar (papan bambu). Barulah kemudian ditutup dengan tanah galian, selanjutnya setelah terkubur diberi nisan sederhana dari bambu dan ditaburi bunga. Ritual selanjutnya adalah mengadzani si mayit. Bapak Modin akan mengumandangkan  adzan dan iqamah, dilanjutkan dengan men-talqin mayit, yaitu pembekalan tentang pertanyaan-pertanyaan didalam kubur. Barulah setelah itu acara penguburan ditutup dengan doa yang juga dipimpin oleh bapak modin.

Ritual dalam kematian biasanya adalah dimulai dengan surtanah, yaitu selamatan untuk para penggali kubur. Selamatan ini biasanya diadakan langsung di makam. Dari ritual surtanah itu, kemudian ada peringatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, mendak pisan (peringatan 1 tahun), mendak pindo (peringatan 2 tahun), dan 1000 hari. Ritual surtanah menyimpan harapan keberkahan hingga ke peringatan-peringatan yang disebutkan diatas. Berawal dari surtanah itu pula, acara tahlilan yang dipimpin oleh bapak modin dari malam pertama sampai malam ke-tujuh kematian dimulai. Dahulu, acara tahlilan tidak hanya berisi kalimat tahlil, tetapi juga pembacaan Surat Yasin oleh peserta pengajian. Ada juga dahulu tradisi pidakan, yaitu pembacaan surat Al-Ikhlas dengan diawali pembagian biji jagung kepada peserta pengajian. Satu biji jagung dihitung 100x membaca surat Al-Ikhlas. Namun, dalam perkembangannya, kegiatan tahlilan hanya dilakukan dengan pembacaan tahlil dan ditutup dengan do’a.

Ritual adat yang dilakukan ini sebenarnya adalah adat Jawa yang berlaku sejak zaman pra-Islam, yang kemudian terakulturasi sejak datangnya syiar Islam dan menjadi identitas baru, yaitu identitas Jawa Islam.

 

Gambar

 

Narasumber

  • Pak Sujadi (Modin), pelaku budaya, Desa Ngargogondo

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...