(Narasi oleh Mustofa dan Zam Zamil Huda)
Narasi
Pada saat kehamilan dan kelahiran ada beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat desa Giripurno. Untuk mengetahui hal tersebut saya mengunjungi kediaman beberapa tokoh dan masyarakat Desa Giripurno. Pertama adalah Bapak Abdul Jabbar yang berkediaman di Dusun Parakan RT 002 RW 004, beliau merupakan tokoh masyarakat dan tokoh agama islam di Desa Giripurno yang berusia 46 tahun yang lebih akrab dengan panggilan Mbah Dul. Selanjutnya saya juga mengunjungi kediaman Ibu Tarwiah, seorang dukun bayi yang berkediaman di Dusun Miriombo Wetan RT 002 RW 005. Saat ini Ibu Tarwiyah masih berpraktik sebagai dukun bayi dan beliau berusia 53 tahun. Selain itu saya juga mengunjungi Ibu Sri Adi Sudiyani yang beralamatkan di Dusun Parakan RT 001 RW 004 seorang ibu rumah tangga yang berusia 50 tahun.
Ngapati
Ibu Tarwiyah menjelaskan dalam masa kehamilan ini prosesi yang pertama adalah ngapati. Istilah ini berasal dari kata bahasa jawa “papat” yang kemudian menjadi “ngapati”. Waktu pelaksanaan prosesi itu adalah pada waktu usia kehamilan mencapai usia 4 bulan 10 hari, sebab pada waktu tersebut Allah meniupkan roh dan menyelipkan nasib di tulang rusuk sebelah kiri. Oleh sebab itulah dibuatkan selamatan atau wilujengan yang diikuti oleh pembacaan surat Al-Qur’an. Surat Al-Qur’an yang dibaca antara lain surat Al-Luqman, surat Maryam, surat Kahfi, surat Yasin, surat Arrahman, surat Al-Waqi’ah, serta surat Yusuf. Selain surat-surat Al-Qur’an tersebut ada juga yang menambahkan dengan membacakan Sholawat Al-Barzanzi atau Diba’, atau membacakan Manaqib. Harapan dari prosesi tersebut adalah agar anak yang berada dalam kandungan diberi roh yang sehat, baik dan kelak mendapatkan nasib yang bagus. Ibu Sri Adi Sudiyani menambahkan jika pembacaan surat Maryam dan surat Yusuf adalah agar nantinya jika anaknya perempuan agar cantik molek seperti dewi Maryam, kemudian jika anaknya laki-laki agar tampan dan rupawan seperti nabi Yusuf.
Mitoni
Prosesi yang kedua adalah “mitoni”. Menurut Ibu Tarwiyah, prosesi ini disebut juga dengan “tingkeban”, kemudian Ibu Sri Adi Sudiyani juga menyebutkan dengan istilah “kekebo”, yakni prosesi yang dilakukan ketika kandungan berusia tujuh bulan. Prosesi ini diadakan wilujengan dengan doa agar ibu yang mengandung mudah dalam melahirkan serta mendapat keselamatan, begitu pula dengan anak yang lahir diberi keselamatan. Bapak Abdul Jabbar menambahkan jika dalam prosesi ini menggunakan menu khusus, yakni minuman dawet. Menu tersebut merupakan sebuah kiasan agar anak yang lahir nanti bertubuh segar dan manis, jika laki-laki berwajah tampan dan jika perempuan berwajah cantik.
Setelah acara wilujengan usai, semua orang yang berada di rumah tersebut harus keluar rumah. Bersamaan dengan itu ada orang yang kemudian menarik galar, yakni papan ambin dari bambu. Kemudian sebuah kendil akan dipecahkan di halaman rumah. Proses ini juga merupakan sebuah kiasan agar dalam prosesi kelahiran nanti dapat berjalan dengan lancar dan mudah. Menurut Ibu Tarwiyah, selain prosesi wilujengan tersebut ada acara siraman yang biasanya dilakukan pada jam 12.00 malam. Air yang digunakan untuk acara siraman tersebut adalah air yang telah diberi kembang setaman dan telor ayam jawa. Setelah acara siraman, pasangan suami tersebut makan di dapur, tepatnya di depan luweng atau tungku.
Ngadzani
Pada saat kelahiran bayi. Menurut Bapak Abdul Jabbar, jika ayah bayi tersebut berada di rumah, maka penolong bayi tidak diperbolehkan untuk berbicara sebelum bayi dibersihkan, dipotong tali pusarnya dan diadzani di telinga kanan dan Iqomah di telinga kiri oleh ayahnya. Proses ini dimaksudkan agar yang terdengar pertama kali oleh bayi adalah suara-suara yang baik dengan lafal yang mengagungkan Allah SWT. Setelah bayi diadzani dan diiqomahi lalu digebrak di sampingnya dengan sapu lidi. Ibu Tarwiah menambahkan, setelah melahirkan seorang ibu harus melakukan mandi wajib atau mandi wiladah. Kemudian sebelum memasuki rumah harus berjalan di atas merang yang telah dibakar sebanyak tiga kali.
Aruman
Ibu Tarwiyah menjelaskan, aruman atau embing-embing merupakan placenta yang keluar menyertai bayi. Bagi masyarakat jawa, karena berada di rahim ibu dan lahir setelah/bersamaan dengan bayi maka sering disebut sebagai ‘sedulur kembar’ saudara kembar atau ada juga yang menyebut dengan istilah ‘kakang kawah adi ari-ari’. Kemudian Bapak Abdul Jabbar menjelaskan prosesi penguburannya.
Yang pertama ari-ari atau placenta dicuci bersih dari kotoran darah dengan air mengalir dan dibungkus dengan kain kafan. Selanjutnya kembang boreh dimasukan ke dalam kendil dan diikuti dengan memasukan bungkusan ari-ari tadi. Kemudian kendil tadi dimasukan ke dalam lubang yang telah disiapkan dan kembali ditutup dengan tanah. Tempat mengubur aruman tersebut berada di samping pintu rumah depan. Jika bayi laki-laki maka ditempatkan di samping pintu sebelah kanan pintu, sebaliknya jika perempuan akan ditempatkan di samping sebelah kiri pintu depan. Bapak Abdul Jabbar menambahkan jika tempat mengubur aruman tersebut tidak boleh diinjak-injak. Konon jika diinjak-injak maka bayi akan sesak nafas. Oleh karena itu maka tempat menguburkan aruman tersebut biasanya dibuatkan tempat perlindungan dari bambu dengan bagian atas lebih sempit. Pada malam hari tempat tersebut biasanya diberi obor dengan sentir atau pelita.
Ibu Tarwiah menuturkan, seorang ibu yang baru melahirkan disarankan untuk sering melakukan pijat syaraf. Hal tersebut agar ASI dapat lancar. Selain ibu, bayi yang dilahirkan pun sebaiknya juga sering dipijat. Bapak Abdul Jabbar kemudian menambahkan jika pijat tersebut bertujuan untuk memfungsikan kembali seluruh urat syaraf tubuh. Selain itu, untuk melancarkan ASI, ibu bayi juga harus mengkonsumsi jamuan khusus dari anggur maupun sayuran. Ibu bayi setelah proses melahirkan tersebut dilarang untuk duduk bersila atau timpuh, ia tidak boleh terlalu banyak menekuk kaki agar nanti tidak muncul garis-garis putih atau muncul gumpalan di perut. Dukun bayi akan mengawasi dan memandu kesehatan ibu dan bayinya hingga hari ke 40. Setelah 40 hari biasanya dalam kurun waktu tertentu dukun bayi akan datang untuk memijat ibu dan bayinya. Kemudian ibu bayi juga akan melakukan kegiatan fisik yang dinamakan wuwung.
Kegiatan ini adalah mandi dengan gayung yang besar, biasanya dengan entik atau tenggok kecil. Jumlah siraman waktu mandi tersebut akan dihitung dengan jumlah tertentu. Setelah itu ibu bayi akan melakukan terapi dengan memijit bagian pilingan di samping luar kedua mata, di pelipis, di bagian dalam sebelah mata atau disamping hidung atas, dan di bawah mata. Kemudian matanya akan dikeceri atau pupukan dengan menggunakan cengkeh dan kemukus.
Menurut Bapak Abdul Jabbar, setelah ada kelahiran bayi maka ada kebiasaan yang dilakukan oleh warga sekitar untuk mengunjungi atau menjenguk bayi tersebut, kebiasaan tersebut dikenal dengan istilah ngendong. Aktivitas ini terbagi menjadi 2 macam. Yang pertama ngendong yang dilakukan oleh ibu-ibu atau kaum perempuan. Waktu pelaksanaannya biasanya selepas kelahiran hingga muputi. Dalam aktivitas ngendong oleh kaum perempuan ini ada pantangan untuk tidak membawa anak yang berusia dibawah 5 tahun. Hal tersebut untuk menghindari agar anak tersebut tidak terkena sawan yang dipercaya masyarakat adalah debu dari hancurnya iblis atau roh jahat. Sebagai penangkal sawan untuk anak-anaknya yang berada di rumah, ibu-ibu tersebut pulangnya akan meminta dadah yaitu campuran minyak goreng dan kunyit atau dapat juga diganti dengan bedak bayi.
Aktivitas ngendong selanjutnya adalah ngendong oleh bapak-bapak atau kaum laki-laki. Ngendong yang dilakukan oleh bapak-bapak ini dilakukan pada waktu malam hari. Pada awalnya tujuannya adalah untuk ikut menjaga bayi dari pencurian, dimakan binatang buas, atau dimakan makhuk atau roh jahat. Acara ngendong biasanya diisi dengan lek-lekan atau begadang hingga pagi. Saat ini aktivitas ngendong ini banyak diisi dengan pembacaan sholawat Al-Barzanji. Acara ngendong ini akan berakhir ketika telah dilangsungkan acara kekerik.
Muputi
Setelah tali pusar bayi sepenuhnya putus, akan dilanjutkan dengan prosesi selanjutnya, yakni puputan. Selamatan putusnya tali pusar ini biasanya bersamaan dengan kekerik yakni proses cukur rambut bayi untuk yang pertama kali, umumnya juga bersamaan dengan pemberian nama. Meskipun ada juga kekerik yang dilakukan sebelum tali pusar bayi putus. Hal tersebut bertujuan untuk menghentikan acara ngendong dengan alasan biaya. Tali pusar yang putus tersebut tidak dibuang begitu saja, akan tetapi ada beberapa perlakuan khusus. Ada yang kemudian ayahnya menelan tali pusar tersebut. Konon, jika anak tersebut sakit, ayahnya cukup meniupnya dan kemudian akan sembuh. Akan tetapi, jika ayahnya memarahi anak tersebut dan kemudian menyakitinya, anak itu akan susah sembuh dan tidak ada obatnya. Hanya ayahnya tersebut yang dapat mengobati dengan rasa ikhlas dan tulus. Proses memakan tali pusar ini sangat jarang dilakukan, warga masyarakat lebih sering menyimpan tali pusar tersebut. Jika anak tersebut sakit, biasanya mereka akan merendamnya dengan air putih. Kemudian air rendamannya akan dioleskan ke anak yang sakit tersebut.
Kekerik
Kekerik pada umumnya dilakukan bersamaan dengan pemberian nama bayi dengan acara selamatan dan ditambah dengan pembacaan surat Al-Barzanji dan ada pula yang menambah dengan Manaqib. Pada acara tersebut, untuk pertama kalinya bayi dicukur rambutnya, biasanya bersamaan dengan waktu sarokal pada bacaan sholawat Al-Barzanji. Para sesepuh, tokoh masyarakat, dan tokoh agama biasanya yang melakukan pemotongan rambut secara bergiliran. Sebelum memotong rambut, mereka mendoakan kebaikan untuk anak tersebut. Rambut potongan itu kemudian akan disiramkan diatas tempat aruman di pendam. Kemudian Ibu Tarwiah menambahkan, jika ada anak yang lahir pada hari Senin Pon, maka pada waktu kekerik harus ditambah dengan menu khusus dengan menyembelih kambing hitam kendit, namun jika keluarga tidak mampu maka dapat diganti dengan kepala dan kaki kambing. Kemudian jika lahir pada bulan Suro dan Sapar, maka harus mengadakan wilujengan dengan nasi ancak atau tumpengan selama 7 tahun atau 7 kali pada bulan yang sama.
Selapanan/Nyelapangi
Menurut Ibu Tarwiah, nyelapangi adalah proses yang dilakukan oleh masyarakat setelah tiga puluh lima hari pasca kelahiran. Pada acara tersebut kemudian diadakan syukuran atau wilujengan yang biasanya diisi dengan sholawat Al-Barzanji atau Manaqib. Namun ada juga yang hanya mengundang kerabat untuk wilujengan kecil-kecilan dengan mengepung among-among atau jajanan pasar. Biasanya, acara selapanan ini dilakukan rutin setiap 35 hari pada saat hari neptonnya sama hingga anak beranjak dewasa. Isi selamatan pada waktu hari nepton ini biasanya dengan membuat among-among dengan nasi putih, telor, sayur kluban, atau jenang abang putih.
Ngedun-duni/Tedak Siti
Ibu Tarwiah kemudian melanjutkan, setelah bayi berumur 9 bulan telah mampu untuk duduk, maka dilakukan prosesi selanjutnya yang dikenal dengan istilah ngedun-duni atau tedak siti. Sebelum acara tedak siti ini dilakukan maka bayi belum boleh untuk menyentuh tanah secara langsung. Tradisi ini dimulai dari bayi yang dinaikkan pada tangga yang terbuat dari tebu, setelah itu bayi di dudukkan di atas juadah yang diletakakkan di atas nampan dan dibungkus kain putih. Setelah bayi duduk kemudian ditutup menggunakan kandang ayam dari bambu. Setelah itu ayah dan ibu bayi menebari sekitar bayi menggunakan beras dan uang receh, setelah kandang ayam dibuka bayi diberikan barang-barang seperti dompet, alat pertukangan, alat make up dan lain-lain.
Aqiqoh
Aqiqoh merupakan salah satu prosesi penyembelihan kambing secara islami dengan maksud untuk menebus seorang anak atau diri sendiri kepada Allah SWT. Jika laki-laki maka kambingnya berjumlah 2 ekor, jika perempuan 1 ekor. Pada prosesi aqiqoh ini daging kambing dibagikan dalam bentuk masakan. Sedangkan jenis makanannya harus masakan gurih dan tidak boleh terlalu pedas. Waktu pelaksanaan aqiqoh bebas. Ada yang berbarengan dengen kekerik, pada saat khitan, dan ada pula yang memang menggunakan waktu tersendiri.
Khitan
Menurut Pak Abdul Jabbar, khitan merupakan proses pembersihan penutup khasafah untuk menghilangkan sumber najis. Warga masyarakat Giripurno kebanyakan menggunakan jasa Bong Supit dalam proses ini. Jauh hari sebelumnya, biasanya warga mencari hari baik terlebih dahulu. Hari tersebut dihitung dengan hitungan hari lahir/neton dan hari nas. Waktu pelaksanaan berupa hari lengkap dengan pasaran jawa beserta jam untuk pagas atau waktu potong. Sebelum pelaksanaan terlebih dahulu dilakukan ngirim donga atau berkirim doa. Dalam prosesi ini ada yang kemudian berbarengan dengan aqiqoh atau pengajian. Akan tetapi kebanyakan hanya sekedar pagas kemudian selesai, hal ini tergantung kemauan dan kemampuan ekonomi orang tersebut.
Gambar
Narasumber
- Pak Abdul Jabbar, 46 tahun, Dusun Parakan RT 02/RW 02, Desa Giripurno
- Ibu Tarwiyah, 53 tahun, Dusun Miiriombo Wetan RT 02/RW 05, Desa Giripurno
- Ibu Sri Adi Sudiyani, 50 tahun, Dusun Parakan RT 02/RW 04, Desa Giripurno