(Narasi oleh Muhammad Ja’far Qoir dan Miftakhul Fauzi)

Narasi

Kematian memang selalu menjadi salah satu momen yang paling menyedihkan dalam setiap perjalanan hidup manusia. Tidak ada satupun cara yang bisa kita lakukan sebagai manusia untuk menghindari momen yang dianggap menyedihkan ini. Secara umum pada saat keluarga ataupun kerabat meninggal biasanya cukup hanya didoakan lalu dimakamkan. Namun, beberapa orang di Indonesia mempunyai cara, tradisi, ritual, upacara, maupun adat istiadat yang dilakukan pada saat keluarga atau kerabat mereka meninggal dunia, demikian juga tradisi upacara pemakaman pada masyarakat Jawa.

Pemikiran orang Jawa tentang kematian dapat dilihat dari cara bagaimana orang Jawa dalam mempersepsikan kehidupan. Masyarakat Jawa merumuskan konsep bahwa urip iki mung mampir ngombe (hidup ini cuma sekedar mampir minum). Atau dengan konsep yang lain, urip iki mung sak dermo nglakoni (hidup ini cuma sekedar menjalani) atau nrima ing pandhum (menerima apa yang menjadi pemberian-Nya)

Menurut pemahaman orang Jawa, setiap manusia telah digariskan oleh takdir. Baik atau buruk, bahagia atau derita, kaya atau miskin, hidup dan mati adalah buah dari ketentuan takdir yang harus diterima dengan sikap legawa. Sedangkan sikap legawa adalah situasi batin yang muncul karena suatu sikap nrima ing pandhum itu sendiri yaitu kemampuan diri untuk bersyukur dan ikhlas menerima segala bentuk kehidupan yang dikaruniakan Tuhan kepadanya.

Dalam perspektif Jawa kematian hakekatnya adalah mulih (pulang ke asal mulanya). Orang Jawa memahami kehidupan dan kematian dalam filosofi sangkan paraning dumadi dimana sangkan asal, paran adalah tujuan, dan dumadi artinya menjadi, yang menjadikan atau pencipta, Sehingga dapat diartikan untuk mengetahui dari mana manusia berasal dan akan kemana tujuan manusia setelah hidup atau mati

Berdasarkan penjelasan Bapak Ali Usman (50 tahun) yang merupakan tokoh agama Desa Karanganyar, menjelaskan bahwa salah satu situasi sosial budaya masyarakat Islam Jawa dapat dilihat dari budaya yang berkaitan dengan ritual keagamaan maupun tradisi lokal masyarakat tersebut. Tradisi lokal upacara kematian orang Jawa ini dilakukan setiap ada orang yang meninggal dunia dan dilaksanakan oleh keluarga yang ditinggalkan serta masyarakat sekitar. Adapun pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

Wara wara

Tentu saja hal yang menjadi langkah pertama yang akan dilakukan saat mengetahui keluarga/kerabat yang meninggal adalah memberitahukan kabar duka tersebut ke tetangga, kerabat, keluarga terdekat, kemudian memanggil tokoh, baik tokoh masyarakat atau tokoh agama, guna memastikan apakah benar orang tersebut sudah meninggal atau belum dengan cara mengecek denyut nadi dan nafas, selanjutnya menyampaikan berita kematian tersebut pengeras masjid. Bahkan sebagian masyarakat rela meninggalkan pekerjaannya untuk datang dan membantu prosesi pemakaman tersebut.

Nyuceni

Jenazah yang baru saja meninggal dunia segera ditidurkan secara membujur, menelentang, dan menghadap ke atas. Warga perempuan sekitar berdatangan untuk membantu prosesi pemakaman, mereka menyiapkan air untuk pemandian jenazah yang airnya diambil dari sumur terdekat, menyiapkan sabun dan menyiapkan rangkaian bunga diambil dari lingkungan sekitar. Berdasarkan Penuturan bapak Ali, bunga dan daun pandan yang digunakan tidak memiliki aturan khusus karena memang kondisi dimana jenazah segera dishalatkan setelah dimandikan nanti, bunga dan daun pandan di tusuk dalam benang hingga memanjang nantinya akan diletakkan diatas keranda mayat. Rangkaian bunga sejak dahulu telah digunakan sebagai sarana wangi-wangian pada jenazah dan hingga kini masih dilakukan sampai saat ini. Sedangkan warga laki laki menyiapkan tempat pencucian jenazah dan alas untuk pemakaman,alas pemakaman menggunakan gedebok pisang yang dibelah menjadi dua, gunanya untuk mempermudah aliran air saat nyuceni, dan memudahkan dalam memindahkan posisi jenazah, kemudian setelah selesai nyuceni, para laki laki akan membuang gedebok pisang ke kebun atau lahan kosong, namun sebelum dibuang ,akan diberi koin dulu, dahulu koin pada gedebok pisang digunakan untuk membeli lengo mambu atau minyak tanah guna menghidupkan sentir, karena dahulu belum ada listrik. Bahkan tradisi ini masih berlangsung hingga saat ini.

Namun sebelum ke pencucian jenazah, ada beberapa syarat orang yang berhak memandikan jenazah

  1. Orang yang paling utama memandikan dan mengkafani jenazah laki-laki adalah orang yang diberi wasiat, kemudian bapaknya, kakeknya, keluarga kandungnya, keluarga terdekatnya yang laki-laki, dan istrinya.
  2. Orang yang paling utama memandikan dan mengkafani jenazah perempuan adalah ibunya, neneknya, keluarga terdekat dari pihak wanita serta suaminya.
  3. Yang memandikan jenazah anak laki-laki boleh perempuan, sebaliknya untuk jenazah anak perempuan boleh laki-laki yang memandikannya.

Setelah dimandikan dan dikafani, jenazah kemudian dishalatkan

Nlusuban

Sebelum jenazah diberangkatkan ke makam masyarakat Karanganyar melakukan suatu upacara yang disebut dengan nlusuban. Upacara nlusuban ini bertujuan untuk menunjukkan penghormatan dari sanak keluarga kepada orang yang telah meninggal dunia. Biasanya nlusuban dilakukan apabila yang meninggal adalah orang yang sepuh, atau pinisepuh yang dituakan dan dihormati. Apabila yang meninggal anak-anak atau muda biasanya tidak dilakukan nlusuban. Upacara nlusuban diselenggarakan di halaman tempat sholat jenazah,baik masjid atau rumah orang yang meninggal sebelum dimakamkan dan dipimpin oleh anggota keluarga yang paling tua. Namun sebelum upacara dilakukan, biasanya diawali dengan beberapa sambutan dan ucapan belasungkawa oleh beberapa pamong desa. Dan semua yang hadir ditempat itu harus berdiri hingga jenazah benar-benar diberangkatkan.

Upacara nlusuban tersebut dilangsungkan dengan tata cara sebagai berikut:

  1. Peti mati dibawa keluar menuju ke halaman dan dijunjung tinggi ke atas oleh sanak keluaraga yang laki laki
  2. Anak laki-laki anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan, berjalan berurutan melewati peti mati yang diangkat diatas mereka selama tiga kali dan searah jarum jam.
  3. Urutan selalu diawali dari anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada di urutan pertama; anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.

Setelah itu jenazah diangkat berjalan satu langkah dan dibacakan al fatihah bersama-sama, sampai langkah ke 3, baru diberangkatkan dengan keranda yang diangkat oleh anak-anaknya yang sudah dewasa bersama dengan anggota keluarga pria lainnya, sedangkan seorang memegang payung untuk menaungi bagian dimana kepala jenazah berada, dan masyarakat mengikutinya sampai ke makam. Prosesi nlusuban bisa dilaksanakan apabila masyarakat yang bekerja bakti di makam sudah menyatakan selesai dalam penggalian kubur.

Pemberangkatan

Kemudian saat menuju pemakaman para saudara perempuan membawa beberapa perlengkapan lain yang akan digunakan di pemakaman

  1. Sawur

Sawur terdiri dari sejumlah uang logam, beras kuning (beras yang dicampur dengan kunyit yang diparut) ditambah kembang telon (mawar, melati dan kenanga) serta sirih. Semuanya itu ditempatkan dalam bokor atau takir. Takir adalah wadah yang terbuat dan daun pisang. Seperti disebutkan di atas, hal ini dimaksudkan sebagai bekal si mati dan keluarga yang ditinggalkan agar selalu mendapatkan kemurahan dari Tuhan,

  1. Payung

Payung yang digunakan dalam upacara kematian sering disebut payung jenazah. Payung itu mempunyai tangkai yang panjang. Payung itu digunakan untuk memayungi jenazah sejak keluar dan rumah hingga sampai di kuburan. Payung tersebut melambangkan perlindungan. Dalam upacara kematian, penggunaan payung melambangkan agar arwah jenazah selalu mendapatkan perlindungan dan Tuhan atau sering disebut “diayomi”. Sebagai bekal dalam perjalanan jauh, payung itu juga dimaksudkan untuk mendapat perlindungan dari panas dan hujan.

  1. Sepasang Nisan atau Maesan

Biasa terbuat dari cor atau jenis kayu yang kuat dan tahan air serta awet. Dibuat dengan ukuran panjang sekitar 60 cm, lebar 15 cm, tebal sekitar 5 cm. Pada bagian atas berbentuk runcing agak tumpul dengan ukiran bunga melati. Sepasang maesan yang terdiri 2 buah itu ditanam di atas kuburan, satu di bagian arah kepala dan satunya lagi di bagian arah kaki. Maesan tersebut sebagai tanda bahwa pada tempat tersebut telah dikuburkan seseorang. Maesan yang yang berada pada bagian arah kepala jenazah yang dikuburkan biasanya dituliskan nama orang yang dikuburkan beserta hari tanggal, bulan dan tahun kematiannya, dengan dasar tahun Jawa ataupun tahun masehi. Sedangkan ukiran berbentuk/motif bunga melati sebagai lambang keharuman.

  1. Tempayan kecil (klenting) atau kendi

Kendi atau klenting digunakan untuk wadah air tawar yang dicampuri dengan serbuk atau minyak cendana dan kembang telon, yang nantinya akan disiramkan di atas kuburan dan maesan. Semua itu melambangkan kesucian, kesegaran dan keharuman nama orang yang meninggal.

  1. Degan Ijo atau Krambil Ijo Muda

Kelapa hijau yang masih muda itu nantinya, setelah jenasah dikuburkan, dibelah dan airnya disiramkan di atas kuburan. Sedangkan belahannya juga ditelungkupkan di atas kuburan itu pula. Maksudnya adalah sebagai air suci, juga air segar pelepas dahaga. Maksud yang lain ialah sebagai penolak bala dan keteguhan hati orang yang meninggal. Dalam hal ini dikiaskan pohon kelapa sebagai pohon yang teguh dan tidak mudah terombang-ambing angin atau lainnya.

Tahlilan/Ikhlasan

Adapun sudah menjadi tradisi bagi masyarakat karanganyar, apabila ada warga yang meninggal, maka akan diadakan doa bersama selama 7 hari berturut turut, guna menghibur keluarga yang ditinggalkan dan mendoakan jenazah yang baru saja meninggal dunia. Kegiatan ini biasa dikenal dengan acara Tahlilan atau ada juga yang menyebutnya “Ikhlasan”

Warga sekitar yang umumnya laki-laki akan menghadiri acara tahlilan pada malam hari. Baik bapak-bapak, pemuda, remaja bahkan anak kecil mereka datang setelah melaksanakan sholat isya’. Kemudian tuan rumah akan menyajikan makanan dan minuman untuk warga yang datang, yang nantinya akan dibagikan oleh pemuda. Doa dipimpin oleh tokoh ulama dan semua warga mengikuti sampai selesai. Kegiatan ini tidak bersifat wajib, hanya warga yang mau atau memiliki waktu luang untuk menghadiri acara tersebut.

Malem Kepisan

Tahlilan malem kepisan ( hari pertama ), bertepatan dengan hari  kematian, masyarakat sekitar berdatangan untuk bersama sama mendoakan orang yang meninggal yang dipimpin oleh tokoh ulama setempat, dan jamuan makan besar dengan ayam utuh atau ingkung yang dimakan bersama sama dalam satu wadah dari bambu, ingkung ini dibuat oleh ibu-ibu sekitar yang akan membantu dari hari kematian hingga hari ketujuh untuk menyiapkan segala hal mengenai hidangan makan, minum maupun kebutuhan mburi. Mburi diartikan sebagai kebutuhan dapur. Kemudian di malam ke 2 kegiatan sama namun tidak diadakan makan besar, melainkan hanya jajanan pasar yang dibuat ibuk ibuk sekitar. Niatnya keluarga almarhum sama yakni untuk berbagi atau bersedekah atas nama almarhum.

Telung Dina

Tahlilan Telung Dina (Tiga Hari-an). Selamatan ke tiga hari berfungsi untuk menyempurnakan empat perkara hidup manusia, yaitu bumi, api, angin dan air. Upacara selamatan tiga hari juga memiliki arti memberi penghormatan dan mendoakan orang yang meninggal supaya diampuni dosa dosanya

Hari ketiga ini diadakan makan bersama tanpa jajan pasar

Pitung Dina

Tahlilan Pitung Dina (Tujuh hari-an). Begitu juga tahlilan dilaksanakan di malam ke 4 sampai 7 ,dipercaya oleh warga sekitar roh dari orang meninggal masih berada disekitar rumah tinggal nya sampai 40 hari, sehingga selama 1 – 7 hari warga melakukan tahlilan bersama akan dilihat oleh ruh jenazah,dengan harapan agar segala hal tentang duniawi akan mudah untuk dilupakan dan doa para warga tersampaikan untuk jenazah,

Patang Puluh

Selametan Patang Puluhan (Empat puluh hari-an). Slametan empat puluh hari (matang puluh dina), dimaksudkan untuk mendoakan, memberi penghormatan, dan sekaligus doa harapan agar senantiasa diberikan keselamatan dan ampunan kepada yang meninggal. Dalam 40 hari meninggal dunia,jenazah juga akan mengalami fitnah kubur berupa pertanyaan yang berujung kepada nikmat atau azab kubur di alam barzakh hingga hari kiamat. Keluarga mengadakan mujahadah 40 hari bersama warga sekitar sekitar, guna menjauhkan almarhum dari siksa kubur dan dijauhkan dari api neraka.

Warga yang hadir akan dijamu dengan makanan tradisional, seperti soto kwali, lele, megono, ingkung dan snack tradisional seperti kacang, meniran, saranggeseng dll. Setelah selesai, warga yang pulang akan diberi berkat atau makanan untuk dimakan keluarga masing masing dirumah.

Nyatus Dina

Selametan Nyatus Dina (Seratus hari). Kegiatan sama yang dilakukan saaat 100 hari mengenang almarhum mendoakan, memberi penghormatan, dan sekaligus doa harapan agar senantiasa diberikan keselamatan dan ampunan kepada yang meninggal. Keluarga mengadakan mujahadah 100 hari bersama warga sekitar. guna menjauhkan almarhum dari siksa kubur dan dijauhkan dari api neraka. Warga yang hadir akan dijamu dengan makanan tradisional, seperti soto kwali, lele, megono, ingkung dan jajanan tradisional seperti kacang, meniran, saranggeseng dll. Setelah selesai, warga yang pulang akan diberi berkat atau makanan untuk dimakan keluarga masing masing dirumah.

Mendak Pisan

Selametan Mendak Pisan (Tahun ke 1). Kegiatan sama yang dilakukan saat 1 tahun  mengenang almarhum mendoakan, memberi penghormatan, dan sekaligus doa harapan agar senantiasa diberikan keselamatan dan ampunan kepada yang meninggal. Keluarga mengadakan mujahadah pada satu tahun pertama dengan bersama warga sekitar, guna menjauhkan almarhum dari siksa kubur dan dijauhkan dari api neraka.

Warga yang hadir akan dijamu dengan makanan tradisional, seperti soto kwali, lele, megono , ingkung dan snack tradisional seperti kacang,meniran, saranggeseng dll. Setelah selesai, warga yang pulang akan diberi berkat atau makanan untuk dimakan keluarga masing masing dirumah.

Namun kadang diadakan di mushola atau masjid setelah sholat magrib, dan makanan atau ambeng disajikan di satu tempat kemudian akan dimakan bersama

Mendak Pindo

Selametan Mendhak Pindho (Tahun ke-2). Kegiatan sama yang dilakukan saat 2 tahun mengenang almarhum mendoakan, memberi penghormatan, dan sekaligus doa harapan agar senantiasa diberikan keselamatan dan ampunan kepada yang meninggal. Keluarga mengadakan mujahadah pada tahun kedua bersama warga sekitar, guna menjauhkan almarhum dari siksa kubur dan dijauhkan dari api neraka. Warga yang hadir akan dijamu dengan makanan tradisional, seperti soto kwali, lele, megono, ingkung dan snack tradisional seperti kacang, meniran, saranggeseng dll. Setelah selesai, warga yang pulang akan diberi berkat atau makanan untuk dimakan keluarga masing masing dirumah. Namun kadang diadakan di mushola atau masjid setelah sholat magrib, dan makanan atau ambeng disajikan di satu tempat kemudian akan dimakan bersama

 

Nyewu

Selametan Nyewu (Seribu Hari-an). Kegiatan sama yang dilakukan saat 1000 hari mengenang almarhum mendoakan, memberi penghormatan, dan sekaligus doa harapan agar senantiasa diberikan keselamatan dan ampunan kepada yang meninggal. Keluarga mengadakan mujahadah 1000 hari bersama warga sekitar satu RT (rukun Tetangga), guna menjauhkan almarhum dari siksa kubur dan dijauhkan dari api neraka.

Warga yang hadir akan dijamu dengan makanan tradisional, seperti soto kwali, lele, megono, ingkung dan jajanan tradisional seperti kacang, meniran, saranggeseng dll. Setelah selesai, warga yang pulang akan diberi berkat atau makanan untuk dimakan keluarga masing masing dirumah.

Namun kadang diadakan di mushola atau masjid setelah sholat magrib, dan makanan atau ambeng disajikan di satu tempat kemudian akan dimakan bersama-sama.

 

Haul

Haul atau Khol. Haul (khol), peringatan kematian pada setiap tahun hari meninggalnya seseorang. Haul (khol) memiliki arti untuk mengenang kembali memori perjalanan seseorang yang telah meninggal untuk dijadikan suri tauladan dan aspek kebaikan perilakunya, memberikan penghormatan dan penghargaan atas jasa-jasanya terhadap keluarga, masyarakat dan agamanya. Hal ini tentunya akan memberikan spirit dan motivasi tersendiri bagi keluarga yang ditinggalkannya. Ritual acara khol ini biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang dan status sosial tertentu. Seperti tokoh masyarakat, para kyai dan orang-orang yang dianggap keluarganya sebagai seseorang yang memberikan peran yang sangat berarti bagi keluarga. Tetapi terkadang juga diadakan pengajian yang bisa dihadiri masyarakat umum dengan tujuan yang paling utama adalah doa bersama untuk almarhum.

 

Gambar

Narasumber

  • Bapak Ali Usman, 50 tahun, tokoh masyarakat, desa Karanganyar

Relasi Budaya

Sumber Lain

Dari Kanal

Ulasan...