(Narasi oleh Lukman Fauzi Mudasir dan Diyah Nur Arifah)
Narasi
“Aku nek wiwit kui lengkap mergo wiwit podo karo ngucap syukur, turgene sesuk panene ben tetep oleh okeh lan berkah” (Aku kalau wiwit itu lengkap karena wiwit sama dengan mengucap syukur, serta agar besok panen bisa tetap dapat banyak dan berkah) jelas Mbah Dah saat aku tanya mengenai apa saja yang dibutuhkan ketika melakukan wiwit.
Selamatan
Mbah Saodah (68 tahun), atau yang biasa dipanggil Mbah Dah adalah warga Dusun Kaliabon bercerita bahwa sejak kecil telah hidup di keluarga petani sehingga tidak asing lagi baginya ketika mendengar kata wiwit. Seakan sudah diluar kepala apa saja yang dibutuhkan dan bagaimana rangkaian acara wiwit tersebut. Dengan lancarnya beliau menyebutkan ingkung ayam jago, gedang rojo temen sak gendel, kembang boreh, menyan, suroh gambir, tukon pasar jajan pasar lengkap), jenang abang putih, sego kluban, sego wudhuk, lentho petek, lan duit. Ditambah brambang (bawang merah) lan lombok ditancapkan ke uncet. Wiwit merupakan upacara selametan (tasyakuran) ketika akan diadakannya panen hasil sawah. Biasanya ketika akan panen padi. Namun menurut Mbah Dah setiap apa yang ia tanam dan akan panen beliau tetap melakukan wiwit karena beliau menganggap apabila di wiwiti hasil panen akan berkah dan berlimpah.
Wiwit padi
Pada saat Mbah Dah menanam jagung, cabai dan sayuran beliau tetap melakukan wiwit sebelum panen. Namun ada perbedaan wiwit yang dilakukan ketika akan memanen padi dan selain padi. Apabila melakukan wiwit padi maka semua hal diatas disediakan dan harus ada komplit. Kemudian di sawah juga masih harus diberi batok kelapa yang diisi dengan dedak, gula jawa, dan kelapa yang dijadikan satu dalam batok tersebut. Peletakannya biasanya ditaruh di pojokan sawah bebarengan dengan ditaruhnya bawang merah dan cabai yang ditusuk layaknya sate. Batok kelapa dengan isian tadi cukup satu, namun bawang merah dan cabenya harus empat yang wajib ditaruh pada setiap sudut sawah. Setelah itu di rumah masih dilakukan genduri dengan mengundang tetangga sekitar. Apabila wiwit selain padi Mbah Dah hanya membuat nasi kluban dan ingkung ayam jago yang akan dibagi-bagikan ke tetangga sekitar setelah didoakan. Kemudian untuk diletakkan di sawah masih sama yaitu menyan, suruh gambir, kembang boreh, dan pisang raja temen satu tangkap. Perbedaan itu dilakukan karena menurut leluhur beliau padi merupakan makanan pokok sedangkan yang lain hanya pelengkap jadi tidak selengkap ketika wiwit padi.
Sek Mbaurekso
Setelah itu beliau menuturkan banyak barang yang harus dipersiapkan tadi beliau mengatakan bahwa pisang, kembang boreh, menyan, suruh gambir, dan jajan pasar diletakkan dalam satu tampah yang kemudian diberi menyan yang sudah dibakar. Hal ini sama halnya memberi sesaji (srono)untuk sang penunggu sawah tersebut. Sedangkan yang lain menjadi pelengkap dan akan dimakan ketika proses genduri. Uang yang disediakan diletakkan dalam tampah yang berisi menyan dan kawan-kawan tadi. Hal ini bertujuan untuk meminta kepada sang penunggu apabila sesaji yang diberikannya kurang maka istilahnya ini saya beli seperti itulah menurut penuturan Mbah Dah. “Nek ono kekurangane disuwun karo sek mbaurekso” (Kalau ada kekurangannya diminta sama yang menjadi penunggunya) jelas Mbah Dah. Setelah didoakan dan acara genduri selesai maka sesaji tersebut bisa diambil termasuk uangnya bisa diambil dan siapapun yang mengambil boleh-boleh saja. Namun ketika acara belum selesai ada yang berani mengambil maka orang tersebut akan celaka. Tujuan diberikannya sesaji tersebut adalah agar semua terhindar dari mara bahaya dan ketika dipanen semua yang memanen tidak mendapat gangguan dari sang penunggu dan hasil panennya berlimpah.
Gambar
Narasumber
- Mbah Saodah, 68 tahun, sesepuh desa